Di sini kami –dengan memohon pertolongan Allah- akan mulai memberikan sanggahan dan bantahan terhadap Lukman Ba’abduh dan Syaikh Rabi atas penafsiran “nyeleneh” mereka terhadap istilah yang dilontarkan Sayyid Quthb, yaitu “masyarakat Jahiliyah” yang oleh mereka diartikan sebagai “masyarakat kafir”.

Sebelumnya penafsiran seperti ini oleh Albani sendiri tegas dikatakan “keras”… (lihat tulisan sebelumnya bag 2). Bahkan yang sangat memprihatinkan adalah ucapan Syaikh Albani:

 الشيخ: طيب، فإذا السيد قطب وصف مجتمعه بأنه مجتمعه مجتمع جاهلي، من أين لنا أن نفسِّر وأن ننسب إليه أنه يكفِّر هذا المجتمع؟

“Baiklah, ketika Sayyid Quthb mendeskripsikan masyarakatnya adalah masyarakat jahiliyah maka dari mana kita dapat menafsirkan atau menganggap ia mengkafirkan masyarakat ini?” (Sebagaimana anggapan Syaikh Rabi)

Seakan-akan menunjukkan bahwa Syaikh Rabi hanya sedang mengarang cerita fiktif! Tentu saja dengan kenyataan bahwa Syaikh Albani sudah membaca dan meneliti kitab Adhwa Islamiyyah Ala Aqidah Sayyid Quthb, dan bukan hanya menuding tanpa bukti dan itu dipertegas dengan ucapannya yang lain:

الشيخ: هذا منه شيء كثير بارك الله فيك.

أنت اقرأ الكتاب بروية بإمعان، لا مع زيد، ولا مع عمرو؛ وإنما مع الحق حيثما كان -أسلوبًا وغاية-.
فإذا أنت قرأتها؛ ستجد أشياء كثيرة وكثيرة جدًّا، نحن معه علمًا -باختصار-، لسنا معه أسلوبًا

Syaikh: Masih banyak lagi barakallahu fik. Anda bacalah bukunya ini (Adhwa Islamiyyah Ala Aqidah Sayyid Quthb) dengan teliti, hati-hati dan perlahan-lahan, tidak usah ditemani oleh si Zaid ataupun si Amr, tapi haruslah bersamamu itu kebenaran dalam setiap metoda dan sasarannya. Jika Anda membacanya maka Anda akan menemukan “sesuatu” yang banyak sekali. Kami senantiasa bersamanya dalam ilmu, dalam artian sama sekali tidak bersama metodanya.

Dengan harapan penuntut ilmu yang tidak tahu menjadi tahu atau yang lebih tahu mengenai hakikat hal ini mau memberi tahu kami. Dan tentu saja kami akan merasa bergembira sekali bila ada di antara Anda yang sudi memberitahu dan memberi faidah kepada kami dan mengajari kami… Amin.

Dan silahkan… kami selalu terbuka atas setiap kritikan yang masuk tanpa membeda-bedakannya.

Namun terlebih dahulu sebelum kami menyanggah penafsiran Syaikh Rabi terlebih dahulu kami akan menyanggah yang di negeri sini dulu, yaitu Lukman Ba’aduh… barulah setelah itu Syaikh Rabi. Meski di dalamnya akan terdapat banyak kesamaan dengan bantahan kami kepada Syaikh Rabi karena adanya kemiripan argumentasi di antara keduanya dalam menghakimi Sayyid Quthb di luar batas.

Dan langsung saja untuk memudahkan Anda mencerna bantahan ini maka saya buatkan point-pointnya.

Pertama: Terlebih dahulu saya ingin memperlihatkan kepada pembaca mengenai manhaj standar ganda ala Lukman Ba’abduh ini. Yang mana dalam kritikannya terhadap Firanda ia melarang penggunaan kata yang bercabang makna seperti “syiddah/mutasyaddid”, namun sayangnya ia sendiri malah menelan semburan ludahnya, yaitu saat ia menerjemahkan istilah “Jahiliyah” kepada “kafir” dengan sejumlah argumen yang ia susun (tidak) rapih dari pendapat-pendapat Sayyid Quthb yang tersebar di berbagai kitabnya.

Kalaulah Lukman Ba’abduh konsisten untuk menjauhi penggunaan kata yang bercabang makna harusnya ia menerima kritik Syaikh Albani kepada syaikh Rabi bahwa “jahiliyah” adalah “jahiliyah” dan “kafirah” adalah “kafirah”, karena ini adalah dua hal yang berbeda.

Namun mengapa ia malah membelahnya menjadi dua cabang sehingga memiliki makna asli ada juga makna alternatifnya, seakan-akan jahiliyah bisa juga bermakna kekafiran. Padahal kata “jahiliyah” ini sangat-sangat tidak bercabang makna di luar konteksnya dalam kamus Bahasa Arab manapun, tidak yang klasik tidak pula yang modern sekarang ini, bahkan ia sendiri di akhir tulisannya sangat menyangkal bahwa “Jahiliyah” bisa bermakna “kafirah”. Lukman berkata:

Dalam kesempatan ini, perlu saya ingatkan seluruh pembaca tentang sebuah permasalahan penting, yaitu bahwa penggunaan kalimat “jahiliyah” yang terdapat dalam beberapa hadits tidak dapat dan tidak boleh diartikan dengan “kafir”. Misalnya hadits,

«إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ»

“Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang ada pada dirimu (sifat) Jahiliyah.”

« مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

“Barangsiapa yang memberontak terhadap penguasa sejengkal saja, maka dia mati dalam keadaan matijahiliyah

Pada kedua hadits di atas, para ‘ulama ahlus Sunnah menegaskan bahwa kalimat “Jahiliyah” di sini bukan bermakna “kafir.”[5] Hal ini telah dijelaskan oleh banyak ‘ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab aqidah atau lainnya, para asatidzah Ahlus Sunnah pun sering menjelaskannya dalam berbagai pelajaran mereka.

sungguh aneh bukan? satu waktu ia katakan jahiliyah adalah jahiliyah tidak boleh/bisa bermakna kafir tapi di waktu dan kesempatan yang lain ia malah ngotot bin ngeyel mengatakan bahwa jahiliyah adalah kafir secara membabi buta.

Orang seperti inikah yang disebut ulama? Bandingkan dengan Syaikh Albani yang secara konsisten memaknai kata Jahiliyah tanpa pernah membawanya kepada makna kafir meskipun di sana terdapat ungkapan-ungkapan yang memojokkan umat tertentu seperti yang dilontarkan Sayyid Quthb.

Kedua: Apa yang dijadikan argumentasi oleh Lukman Ba’abduh atas pengkafiran masyarakat Islam oleh Sayyid Quthb sebenarnya telah dilakukan oleh si Penanya yang merupakan fans berat Syaikh Rabi. Silahkan pembaca membandingkan.

Lukman Ba’abduh berkata:

Kesimpulan di atas ini, dipertegas lagi oleh Sayyid Quthb dengan ucapannya,

–          umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.

Subhanallah, seluruh umat Islam di belahan bumi bagian timur maupun barat, yang mengumandangkan kalimat Lailaha illallahmengucapkannya melalui lisan-lisan mereka, dan orang-orang yang dahulu berada dalam agama Islam ini, divonis oleh Sayyid Quthb sebagai masyarakat yang kafir. Benar-benar ini adalah aqidah khawarij yang ia tanamkan kepada umat.

 Penanya tersebut berkata:

الشيخ: طيب، فإذا السيد قطب وصف مجتمعه بأنه مجتمعه مجتمع جاهلي، من أين لنا أن نفسِّر وأن ننسب إليه أنه يكفِّر هذا المجتمع؟
السائل: حينما قال: هؤلاء المؤذنون الذين يقولون لا إله إلا الله

Setelah ditanya oleh Syaikh Albani: “Baiklah, ketika Sayyid Quthb mendeskripsikan masyarakatnya adalah masyarakat jahiliyah maka dari mana kita dapat menafsirkan atau menganggap ia mengkafirkan masyarakat ini?” (Sebagaimana anggapan Syaikh Rabi)

Maka si Penanya jawab: ketika ia berkata bahwa orang-orang yang mengumandangkan azan yang berkata la ilaha illallah…

Coba lihat jawaban si penanya ini sama persis dengan jawaban/argumentasi Lukman Ba’abduh! Maka apa kata Syaikh Albani terhadap si Penanya atau kepada Lukman Ba’abduh ini yang sependapat dengannya:

الشيخ: نحن هنا الآن، لا تجيب لي من بره -يا أخي-، نحن نناقش العبارة التي بيننا، ولكل عبارة ملاحظتنا فيها ونقاشنا فيها.. إلخ

Syaikh: Ayolah kita sedang berada di sini (pada kata kafir) dan saya tidak ingin keluar dari konteks ini sedikitpun wahai saudaraku. Kita sedang membicarakan pemaknaan yang ada di antara kita, dan setiap pemaknaan harus ada tinjuauan dan diskusi kita di dalamnya … dan seterusnya.

Jadi, dalam pandangan Syaikh Albani hujjah semacam itu dianggap keluar konteks dari kata “kafir” yang dituduhkan dalam kata “masyarakat Jahiliyah” . Bahkan terkesan berkelit, mengada-ngada dan lari dari inti pembahasan.

Intinya di sini, meski boleh jadi saja ia tidak menginginkannya atau mengelaknya namun secara tersirat dengan fakta yang sudah didepan mata ini dapat dilihat bahwa Lukman ingin menunjukkan bahwa Syaikh Albani [yang ia pakai dan manfaatkan untuk memuji Syaikh Rabi] tidak lebih dari orang yang tidak paham akan hujjah Syaikh Rabi atau asal nyerocos. Atau dalam bahasa inteleknya: “Didudukkan secara ilmiah”. Perhatikan ucapan Lukman:

– Penilaian asy-Syaikh al-Albani tersebut harus dinilai dan didudukkan secara ilmiah. Karena kita semua berkeyakinan sebagaimana asy-Syaikh Rabi’ tidak makshum – bisa benar bisa salah, boleh diterima dan boleh ditolak perkataannya – maka demikian pula ‘ulama lainnya, selama hal itu masih dalam koridor ilmiah bukan dengan ambisi menjatuhkan kredibilitasnya.

Dan urusan ini menjadi sesuatu yang mengherankan bagi kita semua bagaimana orang seperti Albani yang ia anggap tidak paham hujjah Syaikh Rabi dalam kitabnya Adhwa Islamiyyah malah ia jadikan salah satu sumber kekuatan untuk mengokohkan kedudukan Syaikh Rabi dengan pujiannya, salah satunya adalah “Syaikh Rabi adalah pembawa bendera Jarh wa Ta’dil di masa ini!” .

Orang yang bodoh saja pasti akan tertawa geli dengan hal ini.

Kedua: Detil masalah. Seperti biasa, karena memang sudah kebiasaaanya yang sering menerapkan hayalan tingkat tinggi dalam men-sururi-kan, meng-hadadi-kan, men-tabdi-kan orang lain maka kebiasaan inipun ia bawa dalam memvonis ucapan-ucapan sayyid Quthb sehingga terkesan bahwa ucapan Sayyid Quthb tentang “Jahiliyah” berujung kepada “kafir”. Dan hal itu ia dasarkan pada ucapan-ucapan Sayyid Quthb di berbagai kitabnya sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya.

Bagi yang mau membaca perlahan-lahan setiap penuturuan Sayyid Quthb dari awal hingga akhir dan berulang-ulang dalam Kitabnya Al-Ma’alim maka tentu saja ia akan menolak penafsiran dusta ini, bahwa Jahiliyah bermakna kafir.

Lain halnya dengan mereka yang hobi membaca “ala kutu loncat” seperti Lukman Ba’abduh ini, yang menganggap tidak penting mendapatkan pemahaman menyeluruh dalam sebuah bacaan, yang terpenting adalah kalau sudah dianggap keliru maka ia akan terus keliru hingga akhir.

Dan alhamdulillah kami tidaklah memegang manhaj “kutu loncat.” Kami akan selalu menimbang segala urusan dengan seadil-adilnya.

Dalam kitabnya Al-Ma’alim sebagaimana yang dikutip oleh Lukman Ba’abduh Sayyid Quthb memang memasukkan “masyarakat tertentu” dalam ithar al-mujtama al-jahili (pengelompokan masyakat jahiliyah), di sana ada:

  1. Komunisme
  2. Paganisme
  3. Yahudi dan Nashrani dengan berbagai kesasatan dan penyimpangan mereka
  4. Inilah yang terakhir yang dijadikan sasaran oleh Lukman Ba’abduh, yaitu masyarakat yang menyangka bahwa diri mereka adalah masyarakat muslim.

Namun sayangnya penafsiran Lukman Ba’abduh tersebut nihil (Nol Besar) bila kita mau merujuk kitab Al-Ma’alim, sebab masyarakat terakhir dalam konteks pembicaraan Sayyid Quthb ini bukanlah masyarakat Islam secara hakiki seperti yang dituduhkan olehnya.

Lantas apa bukti ucapan kami ini?

Dalam kitab Ma’alim Fit Thariq, Sayyid Quthb dalam menjelaskan hakikat masyarakat jahiliyah “yang terakhir” ini dengan mendasarkan pendapatnya tersebut pada ayat suci Al-Quran,

{ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ … } إلى أن يقول { … فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً } ..

 Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.

Hingga Firman-Nya,

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

(An-Nisa: 60-65)

Artinya apa? Sayyid Quthb memiliki bahan/rujukan argumentasi atas opininya tersebut bukan sekedar klaim hampa yang bisa dibelokkan maknanya sesuka hati pembaca sebagaimana penafsiran nakal Lukman Ba’abduh ini. Inilah yang perlu digaris bawahi oleh pembaca sekalian.

Dan ini jugalah yang boleh jadi luput dari pandangan Lukman Ba’abduh, dimana Sayyid Quthb di akhir Pengantarnya/Pendahuluan dari kitab Al-Ma’alim berkata,

هذه المعالم لا بد أن تقام من المصدر الأول لهذه العقيدة .. القرآن .. ومن توجيهاته الأساسية ، ومن التصور الذي أنشأه في نفوس الصفوة المختارة ، التي صنع الله بها في الأرض ما شاء أن يصنع ، والتي حولت خط سير التاريخ مرة إلى حيث شاء الله أن يسير .

Ma’alim ini haruslah dibangun dari sumber awal bagi keyakinan ini… Al-Quran… dan pengarahannya yang fundamental dan dari konsepsi yang dibangun olehnya dalam jiwa-jiwa yang tepilih dan bersih yang Allah ciptakan di bumi sekehendaknya, yang mengubah garis perjalanan sejarah sekali lagi kepada yang dikehendaki oleh Allah untuknya berjalan.

Dan sekarang kita akan mulai mendudukan persoalan ini pada tempatnya yang semestinya.

Siapakah yang mengaku-ngaku beriman (atau dalam istilah Sayyid Quthb “masyarakat jahiliyah”) yang dibicarakan dalam ayat ini? Apakah kaum muslimin yang hakiki sebagaimana anggapan Lukman Baabduh sehingga ia mengesankan bahwa Sayyid Quthb menjahilkan (atau mengkafirkan mereka sebagaimana anggapan Lukman Ba’abduh) mereka ataukah “kelompok masyarakat lain”?

Untuk mengetahui jawabannya tentu saja kita harus merujuk kepada kitab-kitab tafsir bersejarah yang mencatat kejadian ayat di atas. Dan bila kita merujuk pada mayoritas tafsir atsar, seperti Al-Wajiz Lil Wahidi (yang biasa mencatat asbabun nuzul) Ath-Thabari, Ibnu Katsir, dll maka yang disebut sebagai “orang yang mengaku-ngaku beriman” adalah “orang-orang munafik”, tanpa keraguan sedikitpun di dalamnya.

Disebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari:

حدثني محمد بن المثنى قال، حدثنا عبد الوهاب قال، حدثنا داود، عن عامر في هذه الآية:”ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت”، قال: كان بين رجل من اليهود ورجل من المنافقين خصومة، فكان المنافق يدعو إلى اليهود، لأنه يعلم أنهم يقبلون الرشوة، وكان اليهودي يدعو إلى المسلمين، لأنه يعلم أنهم لا يقبلون الرشوة. فاصطلحا أن يتحاكما إلى كاهن من جُهَيْنة، فأنزل الله فيه هذه الآية:”ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك” حتى بلغ”ويسلموا تسليمًا”.

 

Muhammad bin Al-Mutsanna mengabarkan kepadaku, ia berkata: mengabarkan kepada kami Abdul  Wahab ia berkata: mengabarkan kepada kami Dawud, ia berkata: dari Amir, mengenai ayat ini: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut.

Seorang dari Yahudi dan seorang dari Munafik terlibat pertengkaran dan permusuhan, maka si untuk membuka jalan damai si munafik ini mengajak si Yahudi berhakim kepada Yahudi lain, sebab ia tahu bahwa orang Yahudi kebanyakan menerima suap.

Adapun si Yahudi tadi, mengajaknya untuk menyelesaikan permasalahannya kepada kaum muslimin. Karena ia tahu orang-orang Islam tidak ada yang menerima sogok. Tidak ada titik temu akhirnya mereka sama-sama bersepakat membawa penyelesaian permasalahan mereka berdua kepada seorang dukun yang berasal dari Juhainah, lalu Allah turunkan ayat di atas tadi.

Jadi secara sederhana tanpa saya harus mengutip berbagai penjelasan dalam tafsir tersebut secara satu persatu sehingga “membengkakkan” halaman ini, dapat disimpulkan bahwa dalam perbincangan mengenai “masyarakat jahiliyah yang terakhir” dalam kitab Al-Ma’alim atau di kitab-kitabnya yang lain maka yang dibidik oleh sayyid Quthb adalah orang-orang munafik/masyarakat munafik era baru bukan masyarakat Islam yang sesungguhnya yang bertauhid.

Namun anehnya, Oleh Lukman Ba’abduh ini “masyarakat munafik” dalam anggapan Sayyid Quthb ini yang didasarkan ayat suci Al-Quran, sekali lagi didasarkan ayat suci Al-Quran bukan hayalan naif Sayyid Quthb semata malah dicap sebagai masyarakat Islam yang bertauhid.

Kemudian ia gunakan statemen Sayyid Quthb ini untuk menunjukkan kekafiran masyarakat muslim. Padahal Sayyid Quthb tidak memaksudkan demikian.

Bukankah ini hanyalah benang putus yang Lukman Ba’abduh coba sambung-sambungkan sehingga seakan-akan nampak seperti benang yang utuh? Sayyid Quthb bicara apa, dan Lukman Ba’abduh bicara apa? tapi hasilnya bisa sama, luar biasa!

Sebenarnya inti yang ingin disampaikan oleh Sayyid Quthb dalam penuturannya ini (yang dijadikan target kritikan Lukman Ba’abduh) sejauh yang bisa kami tangkap adalah:

  • Al-Quran adalah kitab suci lintas zaman, berlaku bagi setiap zaman, tidak hanya di zaman Nabi saja.
  • Zaman terus berputar, apa yang terjadi di zaman Nabi akan terus terulang kembali di zaman setelahnya.

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)

  • Sayyid Quthb mencoba menggali kembali nilai-nilai dalam kitab suci Al-Quran, salah satunya tentang kemunafikan manusia yang memeluk Islam. Bukan kemunafikan umat Islam yang telah kokoh memeluk Islam yang bertauhid.
  • Kemunafikan terus terjadi di setiap zaman, tidak hanya di zaman Nabi namun di era kontemporer ini kemunafikan akan selalu eksis dengan person-personnya yang selalu berganti wajah.
  • Kemunafikan selalu melabeli dirinya dengan Islam. Inilah yang selalu menjadi masalah yang sulit di atasi dari waktu ke waktu, karena ia seperti zat pewarna (merah) yang bercampur dengan air. Dan sayyid Quthb mencoba memisahkan kembali hal ini, warna merah ya merah, air ya warna air… sebab air tidak berwarna merah. Atau dalam bahasa Al-Quran:

 إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ {المنافقون:1}.

Jika datang padamu orang-orang munafik dan berkata: Kami bersaksi bahwasanya Engkau adalah utusan Allah dan Allah mengetahui bahwasanya Engkau adalah utusan-Nya dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik tersebut benar-benar pendusta! (Al-Munafiqun: 1)

Lain halnya dengan minyak yang dicampur air maka itu tentu saja perkara mudah untuk membedakan dan memisahkannya. (baca: kafir)

Inilah inti dari re-islamisasi manusia dalam karyanya Ma’alim fi Thariq.

Apakah Lukman Ba’abduh ini hanya meyakini bahwa masyarakat munafik hanya ada di zaman Rasulullah selepas itu maka kaum munafikin di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi? Ataukah isi/konten kitab suci Al-Quran itu hanya untuk zaman Nabi semata dan tidak berlaku untuk zaman-zaman setelahnya? Lalu apa artinya ia mengutip ayat-ayat suci Al-Quran untuk dakwah era modern sekarang ini?

Jadi jelas, bahwa yang mengkafirkan kaum muslimin bukanlah Sayyid Quthb melainkan …

Silahkan pembaca jawab sendiri!

Ketiga: Opini (Tuduhan Gelap) Lukman atas statemen Sayyid Quthb: dari “munafik” menjadi “muslimin” kini dilanjutkan kembali dengan… pengeneralisiran, yaitu dari oknum tertentu menjadi masyarakat Islam secara keseluruhan. Silahkan Pembaca perhatikan penyataannnya yang sudah kami cetak merah

Dari berbagai pernyataan di atas, Sayyid Quthb dengan tegas memvonis masyarakat yang adasekarang ini, hidup dalam kehidupan jahiliyah. Apa makna jahiliyah? Dia tegaskan, kehidupan jahiliyah bukan Islam dan masyarakat muslim tersebut bukan muslimin. Keislaman mereka sebatas klaim saja.

Sebenarnya dengan dua penukilan di atas, sudah cukup sebagai bukti bahwa makna “Jahiliyah” dalam pandangan Sayyid Quthb adalah “kafir”. Namun tetap akan saya tampilkan pernyataan-pernyataan Sayyid Quthb lainnya yang terdapat dalam berbagai kitab karyanya sendiri. Semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi semua pihak yang menginginkan kebaikan untuk dirinya dan umat, terlepas dari sikap‘ashabiyyah (fanatik buta) yang dapat menghalangi seseorang dari bersikap ilmiah, mengakui kebenaran, dan rujuk dari kesalahan.

Berikut ini perkataan Sayyid Quthb dalam kitabnya “Hadhirul Islam wa Mustaqbaluhu”,

((ففي مثل هذا الأمر الخطير الذي يترتب عليه تقرير مفهوم لدين الله كما يترتب عليه الحكم بتوقف وجود الإسلام في الأرض اليوم، وإعادة النظر في دعوى مئات الملايين من الناس أنهم مسلمون ))

“maka pada permasalahan yang berbahaya seperti ini, yang muncul darinya penetapan pemahaman terhadap agama Allah, sebagaimana pula  muncul darinya hukum terhadap berhentinya keberadaan Islam di muka bumi pada hari ini, dan upaya mengevaluasi ulang terhadap klaim ratusan juta manusia bahwa diri mereka adalah muslimin.”

Perhatikan kembali ucapan Sayyid Quthb yang bercetak tebal di atas, secara tegas dia mengatakan bahwa keberadaan Islam di muka bumi pada hari ini telah berhenti. Dan pengakuan ratusan juta masyarakat bahwa diri mereka muslim hanyalah sekadar klaim.

Tentu kesimpulan Sayyid Quthb di atas, dan yang sebelumnya, merupakan bukti bahwa Sayyid Quthb telah mengkafirkan berbagai masyarakat muslim di muka bumi ini.

Mari kita ikuti kembali perkataan Sayyid Quthb berikut ini dengan seksama disertai harapan mendapatkan kebenaran dan ridha  Allah,

((لقد استدار الزمان كهيئته يوم جاء هذا الدين إلى البشرية بـ (لا إله إلا الله)؛ فقد ارتدت البشرية إلى عبادة العباد، وإلى جور الأديان، ونكصت عن لا إله إلا الله، وإن ظل فريق منها يردد على المآذن: لا إله إلا الله؛ دون أن يدرك مدلولها، ودون أن يعني هذا المدلول وهو يرددها، …،   إلا أنَّ البشرية عادت إلى الجاهلية، وارتدت عن لا إله إلا الله، فأعطت لهؤلاء العباد خصائص الألوهية، ولم تعد توحد الله، وتخلص له الولاء…،البشرية بجملتها، بما فيها أولئك الذين يرددون على المآذن في مشارق الأرض ومغاربها كلمات لا إله إلا الله؛ بلا مدلول ولا واقع…، وهؤلاء أثقل إثماً وأشد عذاباً يوم القيامة؛ لأنهم ارتدوا إلى عبادة العباد – من بعد ما تبين لهم الهدى – ومن بعد أن كانوا في دين الله ))

“Sungguh roda zaman telah kembali berputar seperti hari ketika (awal) datangnya agama (Islam) ini kepada manusia dengan (membawa) Laa ilaha illallah. Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah, walaupun sebagian manusia tersebut mengumandangkan (kalimat) Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan, tanpa memahami dan mempedulikan maknanya dalam keadaan dia mengumandangkannya,  …  Namun kenyataannya umat manusia telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah  dan murtad dari Laa ilaha illallah, sehingga mereka menyerahkan sifat-sifat khusus Uluhiyyah kepada para hamba tersebut dan tidak mentauhidkan Allah, tidak pula mengikhlashkan untuk-Nya al-Wala’ (loyalitas) … umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.”  

Perhatikan dengan seksama perkataan Sayyid Quthb yang dicetak tebal di atas,

–          Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah.

Sayyid Quthb telah memvonis bahwa umat manusia ini telah murtad menuju kepada kekufuran yaitu dengan peribadatan kepada makhluk, dan manusia telah berpaling dari kalimat Laa ilaha illallah. Siapa yang dimaksud umat manusia oleh Sayyid Quthb? Maka dia sendiri menjawab,

–          yaitu orang-orang yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan.

Subhanallah … ini sebagai penegasan bahwasanya Sayyid Quthb meyakini kekafiran masyarakat-masyarakat Islam.

–          Namun kenyataannya umat manusia telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah  dan murtad dari Laa ilaha illallah, sehingga mereka menyerahkan sifat-sifat khusus Uluhiyyah kepada para hamba tersebut dan tidak mentauhidkan Allah, tidak pula mengikhlashkan untuk-Nya al-Wala’ (loyalitas) …

Selanjutnya ia menegaskan bahwa umat manusia (muslimin) telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah, dan telah murtad keluar dari  Laa ilaha illallah, yang sebenarnya kalimat ini merupakan tanda keislaman seorang hamba. Namun Sayyid Quthb tidak peduli, dia tetap memvonis masyarakat muslim tersebut sebagai masyarakat  jahiliyah   yang murtad. Dari sini semakin jelas bahwa makna kalimat Jahiliyah  dalam pandangan Sayyid Quthb adalah kafir.

Kesimpulan di atas ini, dipertegas lagi oleh Sayyid Quthb dengan ucapannya,

–          umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.

Subhanallah, seluruh umat Islam di belahan bumi bagian timur maupun barat, yang mengumandangkan kalimat Lailaha illallah, mengucapkannya melalui lisan-lisan mereka, dan orang-orang yang dahulu berada dalam agama Islam ini, divonis oleh Sayyid Quthb sebagai masyarakat yang kafir. Benar-benar ini adalah aqidah khawarij yang ia tanamkan kepada umat.

Kembali Sayyid Quthb berkata,

 ((إنه ليس على وجه الأرض اليوم دولة مسلمة ولا مجتمع مسلم قاعدة التعامل فيه هي شريعة الله والفقه الإسلامي ))

“Sesungguhnya tidak ada di muka bumi pada zaman ini satu pun negara muslim dan tidak ada satu pun masyarakat muslim, yang kaidah muamalah padanya adalah syari’at Allah dan fiqh Islam.”

Kembali Sayyid Quthb mengatakan, sebagai penegasan yang sangat jelas bagi setiap orang yang memiliki manhaj pemahaman yang benar dan menginginkan kebaikan, yaitu

((إنَّ هذا المجتمع الجاهلي الذي نعيش فيه ليس هو المجتمع المسلم))

“Sesungguhnya masyarakat jahiliyah yang kita hidup di dalamnya ini, bukanlah masyarakat muslim. “ (Fi Zhialil Quran IV/2009)

Setelah berbagai penukilan di atas, dari ucapan-ucapan Sayyid Quthb yang sangat jelas, tegas, dengan berbagai bentuk ungkapan, masihkah ada seorang yang mengaku dirinya sebagai salafy dan mengklaim dirinya akan bersikap sportif dan ilmiah meragukan, bahwa Sayyid Quthb berpaham khawarij yang mengkafirkan masyarakat-masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia?! Dan masihkah dia akan ragu bahwa kalimat “jahiliyah” yang berulang kali diucapkan oleh Sayyid Quthb dalam berbagai karyanya itu adalah bermakna “kafir”?!

Ketahuilah, bahwa berbagai pernyataan Sayyid Quthb yang kami nukilkan di atas hanyalah sebagian saja, masih ada berbagai pernyataan dia lainnya yang menunjukkan kepada kesimpulan bahwa penafsiran asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah terhadap kalimat “jahiliyah” dengan “kafir” adalah benar dan sesuai dengan realita Sayyid Quthb dalam berbagai karyanya.

Perhatikan tulisannya yang sengaja saya beri warna merah!

Saya katakan ini jelas kesimpulan yang naïf dan keliru, kesimpulan dari orang yang mengaku-ngaku melihat permata di atas permukaan laut di siang hari padahal itu hanyalah pantulan dari imaji matahari. Kenapa demikian?

Sebab itu sama saja Sayyid Quthb dan Firqah Ikhwanul Musliminnya menganggap bahwa mereka adalah masyarakat Jahiliyah itu sendiri atau kafir dalam anggapan Lukman, padahal sejauh ini kami belum mendengar adanya klaim dari mereka atau Dari Sayyid Quthb langsung bahwa Sayyid Qutb termasuk masyarakat Jahiliyah yang ia maksudkan sendiri dalam tulisannya.

Sayyid Qutb ada di tengah-tengah masyarakat jahiliyah… ya itu benar sebagaimana yang ia sebutkan dalam beberapa tulisannya,

((إنَّ هذا المجتمع الجاهلي الذي نعيش فيه ليس هو المجتمع المسلم))

“Sesungguhnya masyarakat jahiliyah yang kita hidup di dalamnya ini, bukanlah masyarakat muslim. “ (Fi Zhialil Quran IV/2009)

namun ia adalah masyarakat jahiliyah itu sendiri maka itu tidak benar. Karena memang fakta tersebut tidak ada.

Dengan demikian penulisan Sayyid Quthb tentang realita ini menunjukkan adanya furqan/pemisah antara dirinya dengan masyarakat jahiliyah. Itu artinya masyarakat Islam adalah masyarakat Islam sebagaimana dirinya, sementara masyarakat munafik adalah masyarakat munafik sebagaimana mereka yang digambarkan oleh Al-Quran dan yang digambarkan sayyid Quthb di era modern sekarang ini.

Keempat: Terdapat kekeliruan dari Lukman Ba’abduh saat ia mengatakan bahwa Sayyid Quthb memiliki kitab yang berjudul: Hadirul Islam Wa Mustaqbaluhu. Saya katakan ini ini bukan kitab ini adalah fashl/bab dalam buku sayyid Quthb yang berjudul: Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fil Islam (keadilan sosial dalam Islam). Lukman berkata:

Berikut ini perkataan Sayyid Quthb dalam kitabnya “Hadhirul Islam wa Mustaqbaluhu”,

((ففي مثل هذا الأمر الخطير الذي يترتب عليه تقرير مفهوم لدين الله كما يترتب عليه الحكم بتوقف وجود الإسلام في الأرض اليوم، وإعادة النظر في دعوى مئات الملايين من الناس أنهم مسلمون ))

“maka pada permasalahan yang berbahaya seperti ini, yang muncul darinya penetapan pemahaman terhadap agama Allah, sebagaimana pula  muncul darinya hukum terhadap berhentinya keberadaan Islam di muka bumi pada hari ini, dan upaya mengevaluasi ulang terhadap klaim ratusan juta manusia bahwa diri mereka adalah muslimin.”

Dan apa yang yang dinukilkan oleh Lukman Ba’abduh bahwa hal tersebut terdapat dalam Hadirul Islam Wa Mustaqbaluhu adalah kekeliruan dan bahwa itu juga terdapat dalam -Adalah Al-Ijtimaiyah fil Islam juga adalah kekeliruan.

Dan apa yang dinukilkan oleh Lukman Ba’abduh mengenai ucapan sayyid Quthb di atas sesungguhnya itu terdapat dalam kitab sastranya Fi Zhilalil Quran. Kami sarankan agar pak Lukman dan Pembaca membukanya langsung di sana. Di surat Al-An’am 12-19.

Dalam bantahan Lukman ini ada beberapa hal yang ingin kami komentari. Dan ini kami sampaikan setelah kami menelaah tulisan sayyid Quthb tanpa memotong-motong dalam membacanya sebagaimana yang dilakukan oleh Lukman Ba’abduh sehingga menghasilkan kesimpulan yang tak berdasar, rapuh, lemah dan mudah dipatahkan.

Pertama: Sayyid Quthb tidak pernah memurtadkan seluruh umat Islam sebagaimana anggapan Lukman Ba’abduh ini, yang dimurtadkan Sayyid Quthb adalah manusia tertentu yang menyembah manusia dan meninggalkan penyembahan kepada Allah, titik! (.) Inilah dasar pemahaman yang benar dalam teks ini dan hanya sebatas itu tidak keluar dari itu sama sekali sebagaimana yang dipaksa-paksakan oleh Lukman Ba’abduh ini.

Perhatikan kehati-hatian Sayyid Quthb, ia tidak menggunakan kata “al-mujtama al-muslim/al-islami” (Masyarakat muslim/Islam) tapi “al-Basyariyah” (umat Manusia).

Perhatikan lagi ucapan Sayyid Quthb berikut ini:

((لقد استدار الزمان كهيئته يوم جاء هذا الدين إلى البشرية بـ (لا إله إلا الله)؛ فقد ارتدت البشرية إلى عبادة العباد، وإلى جور الأديان، ونكصت عن لا إله إلا الله، وإن ظل فريق منها يردد على المآذن: لا إله إلا الله؛ دون أن يدرك مدلولها، ودون أن يعني هذا المدلول وهو يرددها، …،   إلا أنَّ البشرية عادت إلى الجاهلية، وارتدت عن لا إله إلا الله، فأعطت لهؤلاء العباد خصائص الألوهية، ولم تعد توحد الله، وتخلص له الولاء…،البشرية بجملتها، بما فيها أولئك الذين يرددون على المآذن في مشارق الأرض ومغاربها كلمات لا إله إلا الله؛ بلا مدلول ولا واقع…، وهؤلاء أثقل إثماً وأشد عذاباً يوم القيامة؛ لأنهم ارتدوا إلى عبادة العباد – من بعد ما تبين لهم الهدى – ومن بعد أن كانوا في دين الله ))

“Sungguh roda zaman telah kembali berputar seperti hari ketika (awal) datangnya agama (Islam) ini kepada manusia dengan (membawa) Laa ilaha illallah. Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah, walaupun sebagian manusia tersebut mengumandangkan (kalimat) Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan, tanpa memahami dan mempedulikan maknanya dalam keadaan dia mengumandangkannya,  …  Namun kenyataannya umat manusia telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah  dan murtad dari Laa ilaha illallah, sehingga mereka menyerahkan sifat-sifat khusus Uluhiyyah kepada para hamba tersebut dan tidak mentauhidkan Allah, tidak pula mengikhlashkan untuk-Nya al-Wala’ (loyalitas) … umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.”

Saya beri anda contoh sederhana saja dalam memahami konteks pembicaraan Sayyid Quthb ini, mudah-mudahan Lukman Ba’abduh dan Anda yang tidak mengerti terutama bagi mereka yang suka mengeluarkan vonis bodoh bisa belajar dari hal ini, karena sebagai orang yang pernah bergelut lama di dunia sastra maka wajib bagi saya menjelaskan cara berpikir sastrawan seperti Sayyid Quthb ini agar salah tafsir dapat dihindarkan sejauh mungkin.

Saya: “Semua manusia di dunia ini sesat, yang salah dalam berpikir, meskipun ia Doktor.

Apa yang bisa Anda; pembaca pahami dari statement saya ini?

Apakah semua manusia di dunia ini sesat! hanya karena saya mengatakan “semua manusia”? Termasuk yang benar dalam berpikir dengan segala jenis ragamnya

Ataukah

Semua manusia yang salah berpikirlah yang sesat. Meskipun ia seorang Doktor, karena itu tak menjamin ia benar dalam berpikir.

Penafsiran manakah yang anda pilih? Semoga pintu untuk memahami hakikat ini terbuka lebar untuk Anda. Sebab untuk memahami sebuah bacaan/kalam haruslah utuh tidak bias setengah-setengah. Bahkan dalam sebuah peribahasa dinyatakan:

Memahami pertanyaan adalah sebagian dari jawaban.

Artinya bisa memahami ucapan saya di atas  dengan benar maka Anda sudah mendapati setengah dari maksud saya. Sisanya harus Anda cari sendiri dengan data-data yang valid.

Lagi pula, kalaulah memang benar demikian sebagaimana sangkaan sesat Lukman Ba’abduh tentu Sayyid Quthb adalah orang yang pertama kali murtad dalam tulisannya sendiri… Sebab ia sendiri termasuk dari manusia yang ia sebutkan sendiri.

Lalu kalau memang demikian adanya maka apa artinya Sayyid Quthb menulis demikian. Bukankah ini sesuatu yang bodoh?

Dan kami sejauh ini sama sekali tidak meyakini Sayyid Quthb sebagai orang bodoh, adapun Lukman Ba’abduh maka silahkan pembaca menilainya sendiri.

Kedua: Tidak ada di kalamnya Sayyid Quthb memaksudkan bahwa orang-orang yang telah murtad di atas adalah orang-orang yang mendengungkan azan, sebagaimana penafsiran nyeleneh Lukman Ba’abduh ini.

Perhatikan dengan seksama perkataan Sayyid Quthb yang dicetak tebal di atas,

–          Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah.

Sayyid Quthb telah memvonis bahwa umat manusia ini telah murtad menuju kepada kekufuran yaitu dengan peribadatan kepada makhluk, dan manusia telah berpaling dari kalimat Laa ilaha illallah. Siapa yang dimaksud umat manusia oleh Sayyid Quthb? Maka dia sendiri menjawab,

–          yaitu orang-orang yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan.

Subhanallah … ini sebagai penegasan bahwasanya Sayyid Quthb meyakini kekafiran masyarakat-masyarakat Islam.

Ini bohong besar, dan dusta yang sangat keji. Vonis “murtad” Sayyid Quthb selalu diiringi dengan sebab (karena asap yang melambung selalu diawali dengan percikan api), yaitu seandainya mereka meninggalkan peribadatan kepada Allah menuju peribadatan kepada makhluk seperti yang saya jelaskan di atas: “Semua manusia di dunia ini sesat, yang salah dalam berpikir.”

Kalau tidak demikian maka atas alasan apa Sayyid Quthb memurtadkan mereka, padahal ia sendiri sudah membuat batasan yang jelas, yaitu: seandainya mereka meninggalkan peribadatan kepada Allah menuju peribadatan kepada makhluk.

Silahkan dijawab!

Jadi ucapan Sayyid Quthb di atas kalau didudukkan kembali dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh banyak orang adalah:

Seluruh manusia…

satu sisi mereka tetap menyembah manusia lainnya, pemerintahan, perundang-undangan dan mereka meninggalkan peribadatan kepada Allah

di sisi yang lain mereka mendengungkan azan, membaca la ilaha illallah

maka mereka… meskipun mendengungkan azan dan membaca la ilaha illallah, namun tetap menyembah manusia, pemerintahan, perundang-undangan dan sudah tidak beribadah lagi kepada Allah maka menurut Sayyid Quthb telah murtad/berpaling.

Atau bila ingin dijelaskan secara ilmiah maka ucapannya: “umat manusia” (Al-Basyariyah) dalam ilmu sastra disebut dengan majaz: Totum Pro Parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Atau dalam ilmu Balaghah disebut dengan majaz Al-Kulliyyah sub bahasan dari majaz Mursal. Contoh:

يجعلون أصابعهم في آذانهم

“Mereka menjadikan jari-jari (semua jari) mereka di dalam telinga-telinga mereka” (Al-Baqarah: 19)

Coba lihat sepasang telinga hanya memiliki dua lubang lalu bagaimana bisa jari-jari (semua jari-jari) mereka yang berjumlah 20 baik jari tangan maupun jari kaki mereka letakan di lubang telinga mereka? Jadi jelas yang dimaksud jari-jari di atas adalah sebagiannya saja yang mereka pakai untuk menutupi lubang telinga mereka dari gemuruh halilintar.

Begitupun dengan Sayyid Quthb di atas, saat ia menyebutkan “basyariah”/umat manusia maka yang ia maksudkan adalah: mereka-mereka (manusa tertentu) yang meninggalkan peribadatan kepada Allah menuju peribadatan kepada makhluk, bukan semua umat manusia termasuk yang bertauhid dan berakidah lurus. Terlebih Sayyid Quthb tidak memaksudkan dirinya sendiri dalam pengelompokan manusia umat manusia tersebut.

Kalau ini dianggap salah? saya ingin bertanya kepada Lukman Ba’abduh atau kepada para fansnya atau kepada pembaca di sini adalah:

Seluruh manusia…

satu sisi mereka tetap menyembah kuburan, batu, tempat-tempat atau benda kramat

di sisi yang lain mereka mendengungkan azan, membaca la ilaha illallah

maka mereka… meskipun mendengungkan azan dan membaca la ilaha illallah, namun tetap menyembah kuburan, makam wali, dll apakah mereka ini muslim atau musyrik?.

Kalau Anda jawab muslim lalu mengapa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama Raja Saud membantai orang-orang yang menyembah kubur, dll di Hijaz sehingga berdirilah Negara Saudi Arabia seperti sekarang ini? padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid! Apakah boleh seorang muslim membantai muslim lainnya?

Bandingkan ucapan Sayyid Quthb di atas dengan ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berikut ini:

أن الرجل إذا صدق رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في شيء وكذبه في شيء أنه كافر لم يدخل في الإسلام، وكذلك إذا آمن ببعض القرآن وجحد بعضه، كمن أقر بالتوحيد وجحد وجوب الصلاة، أو أقر بالتوحيد والصلاة وجحد وجوب الزكاة، أو أقر بهذا كله وجحد الصوم، أو أقر بهذا كله وجحد الحج.

..Bahwasanya seorang laki-laki jika ia membenarkan Rasulullah dalam sesuatu hal saja dan mendustainya dalam hal yang lainnya, maka ia tidak dianggap masuk ke dalam Islam. Demikian halnya jika ia berimana dengan beberapa ayat Al-Quran dan menyangkal yang lainnya, sebaaimana orang yang membenarkan tauhid namun mengingkari kewajiban shalat,atau membenarkan tauhid, shalat namun mengingkari kewajiban zakat, atau membenarkan ini semua namun  mengingkari kewajiban puasa, atau membenarkan ini semua namun mengingkari kewajiban haji… (Kasyf syubahat. Pasal 12)

Yang dimaksud seorang laki-laki di atas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah semua manusia yang melakukan perbuatan yang sama sebagaimana yang ia sebutkan bukan hanya satu laki-laki saja, lalu ketika laki-laki yang lainnya, atau perempuan yang lainnya,  berbuat yang sama menjadi tidak dianggap.

Dalam ilmu sastra biasa disebut dengan Pars pro Toto atau dalam ilmu Balaghah disebut dengan Al-Juz`iyyah yang merupakan sub dari majaz Mursal, yaitu penyebutan sebagian untuk menunjukkan keseluruhan.

Pertanyaan yang tak kalah penting di sini adalah: Dengan melihat kenyataan ini maka manakah yang lebih khawarij antara Sayyid Quthb dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab? Melihat yang satunya memurtadkan manusia yang beribadah kepada selain Allah meskipun ia berazan, atau mengucapkan kalimat tauhid…

atau yang satunya lagi, mengkafirkan setiap manusia yang setengah-setegah dalam beragama meskipun ia bertauhid, mengambil yang ia suka dan menolak yang ia tidak suka?

Keduanya sama-sama membuka kalimat dengan kata yang samar, Sayyid Quthb dengan “Al-Basyariyah (Umat Manusia)” sementara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan kata “Rajul (laki-laki)”, keduanya sama-sama tidak membawa Islam, yaitu umat Islam atau laki-laki muslim padahal maksud mereka adalah sama.

Lanjut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab:

ومن أقر بهذا كله وجحد البعث كفر بالإجماع، وحل دمه وماله كما قال تعالى: {إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا – أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا} [النساء: 150 – 151] فإذا كان الله قد صرح في كتابه أن من آمن ببعض وكفر ببعض فهو الكافر حقا، وأنه يستحق ما ذكر، زالت الشبهة.

Dan barangsiapa yang membenarkan semua yang tadi itu, namun mengingkari hari kebangkitan maka ia kafir berdasarkan ijma’ dan halal darahnya serta hartanya sebagaimana firman Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya[12]. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan  (An-Nisa: 150-151)

Jika Allah telah menegaskan dalam Al-Quran bahwasanya siapa yang beriman setengah saja dan ingkar/kafir pada setengah lainnya maka iada adalah kafir sesungguhnya, dan ia berhak dikafirkan dan hilanglah syubhat/keragu-raguan. (pasal 12)

Adakah Sayyid Quthb menghalakan darah orang-orang yang antah berantah yang ia murtadkan tersebut, adakah Sayyid Quthb membunuh mereka, merampok harta mereka? Meskipun ia juga berhujjah dengan ayat Al-Quran sebagaimana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab?

Lalu apa yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Hejaz sana bersama Raja Sa’ud sebelum menjadi Saudi Arabia seperti sekarang ini?

Sesungguhnya kitab Ma’alim fi Thariq, Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah dan Fi Zhilalil Quran milik Sayyid Quthb bila dibandingkan atau ditimbang dengan adil dengan kitab Kasyfu Syubahat dalam “pengkafiran manusia” maka tentu saja kitab Kasyfu Syubahat jauh lebih berat, dahsyat dan berbobot dan bermutu tinggi dalam masalah “pengkafiran manusia” dibandingkan dua kitab tersebut, meski dua kitab tersebut jauh lebih tebal dibandingkan kitab Kasyfu Syubahat milik Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang tipis dan ringan.

Kalau masalah “pengkafiran manusia” oleh Sayyid Quthb yang menjadi target untuk dikritik maka kenapa kitab Kasyfu Syubahat dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak dikritik? Apakah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab orang suci yang maksum?

Gajah di Pelupuk Mata tak tampak sementara semut di seberang lautan terlihat jelas

Lagipula sebagaimana yang sudah saya katakan, kalau memang demikian adanya maka Sayyid Quthb adalah orang yang pertama kali murtad dalam tulisannya sendiri. Betapa bodohnya Sayyid Quthb kalau memang melakukan hal demikian!

Di luar itu sama sekali tidak ada. Kalaupun ada maka itu hanyalah persepsi dari Lukman Baabduh sendiri. Sekali lagi persepsi Lukman Ba’abduh sendiri. Atau persepsi orang yang memiliki pandangan yang sama dengannya, dan tentu saja tidak semua manusia memiliki pandangan yang sama dengan segelintir mereka ini.

Ketiga: kritikan Lukman Ba’abduh terhadap ungkapan Sayyid Quthb dalam fi Zhilalil Quran pada surat An’am dari ayat 12-19 hanyalah pengembangan dari apa-apa yang sebelumnya, bukan hal yang baru lagi. Yang menurut kami tidak ada habis-habisnya bila dibantah…

Sebenarnya pangkal permasalahan ini adalah dari tidak sabarnya Lukman Baabduh dalam memahami ucapan Sayyid Quthb secara komprehensif dari ayat 12-19 sehingga pembacaannya yang sepotong-sepotong terhadap kalam Sayyid Quthb membawanya pada kesalahan penafsiran dan penyimpulan, karena kalau ia membaca keseluruhan uraian dari Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Quran dalam surat maka ia akan menemukan pangkal permasalahan yang dibahas oleh Sayyid Quthb, yaitu sebuah hadits yang ia kutip:

«شهادة أن لا إله إلا الله» .. شهادة أن لا إله إلا الله بمعناها الذي عبر عنه ربعي بن عامر رسول قائد المسلمين إلى رستم قائد الفرس، وهو يسأله: «ما الذي جاء بكم؟» فيقول: «الله ابتعثنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادةِ الله وحده، ومن ضيق الدنيا إلى سعة الدنيا والآخرة، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام» ..

وهو يعلم أن رستم وقومه لا يعبدون كسرى بوصفه إلهاً خالقاً للكون ولا يقدمون له شعائر العبادة المعروفة ولكنهم إنما يتلقون منه الشرائع، فيعبدونه بهذا المعنى الذي يناقض الإسلام وينفيه فأخبره أن الله ابتعثهم ليخرجوا الناس من الأنظمة والأوضاع التي يعبد العباد فيها العباد، ويقرون لهم بخصائص الألوهية- وهي الحاكمية والتشريع والخضوع لهذه الحاكمية والطاعة لهذا التشريع- (وهي الأديان) .. إلى عبادة الله وحده وإلى عدل الإسلام.

Syahadat la ilaha illallah, dengan maknanya yang telah sampaikan oleh Rab’i bin Ami selaku utusan komandan kaum muslimin kepada Rustum komandan Persia saat ia bertanya kepad Rab’i.

Apa yang kalian bawa?

Rab’i menjawab: Allah mengutus kami agar kami mengeluarkan manusia dari peribadatan mereka kepada hamba-hamba-Nya menuju kepada peribadatan Allah yang Esa. Dan kepada mereka yang sempit terhadap dunia hingga dunia dan akhiratnya menjadi lapang. Dari kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam.

Rab’i tahu bahwa Rustum dan kaumnya tidak menyembah Kisra (Penguasa Persia) [secara harfiah] sebagai Tuhan Pencipta Alam semesta dan tidak pula mempersembahkan syiar-syiar ibadah mereka yang terkenal itu, akan tetapi ada pada penerimaannya pada syariat-syariat Kisra lalu mereka menyembah dengan makna ini yang mana tentu saja hal ini bertentangan dan bertolak belakang dengan Islam

Lalu ia mengabarkannya bahwa Allah mengutusnya agar mengeluarkan manusia dari sistim/aturan-aturan atau kondisi-kondisi yang mana di dalamnya para hamba menyembah hamba-hamba lainnya. Yang mana mereka memberikan pengakuan adanya ketuhanan pemerintahan, perundang-undangan, perendahan diri terhadap pemerintahan ini dan ketaatan kepada perundang-undangan (yaitu agama) kepada peribadatan Allah yang esa dan keadilan Islam.

Dari hadits inilah ia kaitkan kondisi manusia di abad modern ini dengan kondisi manusia saat itu. Dimana Sayyid Quthb banyak melihat adanya orang-orang yang menyembah manusia, sistim, pemerintahan dan perundang-undangan selain Allah. Mereka-mereka ini setiap harinya melafalkan azan, la ilaha illallah di corong-corong Masjid, …dst. Jadi bukan orang-orang yang mendengungkan azan dan membaca kalimat tauhid semata (tanpa embel apa-apa) yang dimurtadkan sebagaimana penafsiran dangkal Lukman Ba’abduh ini.

Namun sekali lagi ini tidak mutlaq, Sebab Sayyid Quthb juga mengucapkan La Ilaha Illallah dan mendengungkan azan maka apakah Sayyid Quthb masuk dalam lingkaran “Al-Basyariyah bi jumlatiha” (seluruh umat manusia) di atas? Sebagaimana yang dikutip Lukman Ba’abduh:

البشرية بجملتها، بما فيها أولئك الذين يرددون على المآذن في مشارق الأرض ومغاربها كلمات لا إله إلا الله؛ بلا مدلول ولا واقع، وهؤلاء أثقل إثماً وأشد عذاباً يوم القيامة؛ لأنهم ارتدوا إلى عبادة العباد – من بعد ما تبين لهم الهدى – ومن بعد أن كانوا في دين الله

umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.”  

Tentu saja jawabnya tidak! Dan itu sudah kita buktikan bersama.

Bersambung…

Wallahu a’lam bish-Shawwab

11 thoughts on “3. Point-Point Bantahan (Bag 4)

  1. Benar-benar pukulan yang meng-KO kan lawan. Dahsyat banget.
    Mohon ust terus melanjutkan dakwah ustad. Jangan terlena dengan syubhat si wong awwam

  2. Jujur ana sangat terpesona dengan kesalafian antum meski di satu sisi terdapat kekurangannya juga. Tapi mudah2an bisa terus diperbaiki, mohon akhalk antum dalam mengkritik lebih difamiliarkan dengan budaya dakwah salafiah salah satunya memanggil orang yang antum kritik dengan ustad. Sekian dan terima kasih.

  3. lanjutkan ustdaz admin,
    perlahan-lahan tapi pasti ana sedang meraba apa ‘manhaj’ antum.

    coment ana pada hari ini tanggal ini, akan ana catat sebagai hari dimana ana mulai
    ‘mencurigai’ siapa antum. Dan yang sudah-sudah, feeling ana dalam meraba seseorang
    terbukti ampuh.
    Tentu saja bukan sembarang feeling yang ana pakai. Ada campuran antara, pengamatan,
    kebiasaan, kecurigaan, keanehan dan ketidak laziman.

    Mungkin antum akan meminta ana membeberkan bagian mana dari tulisan antum yang
    perlu ‘dicurigai’ dan silakan di kritik.
    Ana jawab, ngak perlu tadz. Karena telah berlalu orang semodel ini yang akan menjawab :
    ” ini dalilnya, kita harus adil, tidak ada yg ma’sum, dsb”

    Tapi harus diingat, dalam ‘berani’ menyampaikan hujjah, ada bagian yang tetap harus dijaga pakemnya.
    Ini bukan karena taklid atau zumud. Tapi ini uslub yang tidak tertulis didalam ‘budaya dakwah salafiyah’,
    meminjam istilah abu cek dan ricek.

    Dan pengalaman membuktikan, orang-orang yang tidak menjaga itu, ternyata hanya bagian dari kaum muslimin
    yang mencoba masuk dalam lingkaran salafiyah.

    wallhu a’lam

    1. Terima kasih atas masukan, nasihat dan kritikannya.
      Ngga apa-apa, ana ngga akan kenapa-kenapa dengan pandangan semisal itu. Ana ngga dianggap salafy juga ngga apa-apa, ngga akan berpengaruh dengan ana. Insya Allah. Ana wallahi tidak percaya kalau untuk mengikuti Rasulullah ana harus diakui dulu sebagai salafy oleh kelompok/fulan tertentu dulu dan dilihat dulu siapa ana, amal ana, dll. Di zaman awal Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab istilah salafy, dakwah salafiyah, manhaj salafy tidaklah semarak seperti di era modern sekarang ini yang terlalu kental dan kental dengan person/fulan atau kelompok tertentu. Di zaman beliau yang adalah hanya istilah tauhid, muwahhidun, dakwah tauhid. Artinya adalah untuk dianggap salafy, Syaikh Muhammad bin Abdul wahab tidak harus kita bangkitkan dari kuburnya lalu kita daftarkan kembali ia kepada kubu/kelompok fulan semisal Syaikh Rabi, dll. Semoga Antum paham dengan hal ini.

      Dari awal dari blog ini ana sudah bilang kepada yang tidak suka dengan tulisan ana:

      Silahkan tinggalkan blog ini kalau Anda tidak suka, urusan orang mukmin itu mudah. Kenapa mempersulit diri. Kebenaran tidak hanya ada di sini. Kalau Anda anggap keterangan maupun hujjah yang saya bawa bathil semua maka cukuplah firman Allah ini antum amalkan:

      فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ

      “Maka apakah ada kebenaran lagi setelah kebenaran? karena yang ada setelah kebenaran hanyalah kesesatan” (Yunus: 32)

      Blog ini ana persembahkan bagi mereka yang mau “membuka mata” saja. Kalau masih tetap senang dengan mimpi indah ya jangan membuka mata, tetaplah di mimpi indah antum.

      Dan di akhir tulisan ini terdahulu (bag 3) ane sendiri pernah berpuisi.

      Teko kosong tentu takan bisa mengeluarkan air yang jernih seberapa besarpun terlihatnya ia di hadapan manusia…

      Takkan merubah kenyataanya, meskipun banyak manusia yang meyakini bahwa di dalamnya terdapat air yang berlimpah karena kebesaran bentuknya…

      meski yang menyelisihinya hanya seorang yang dipandang hina dan dungu…

      Itu saja dari ana. Mohon maaf kalau banyak kekurangan.

      Terakhir, sempat terlupa:

      Apakah untuk membela Sayyidina Ali antum harus diakui dulu sebagai Syiah oleh kalangan Rafidah? Ataukah untuk membela Muawiyyah antum harus punya predikat sebagai Nashibi terlebih dahulu?
      Agar bisa ikut campur (diakuilah) dalam pergolakan dakwah Ahlussunnah dan Syiah selama ini?

      Kalau memang begitu “aturan tak tertulisnya”?

      1. Salafy bukanlah sebuah lembaga/instansi yang dimiliki secara eksklusif oleh sebagian orang. Semua orang dapat menjadi/mengaku sebagai seorang salafy. Bahkan dalam kontek Sunnah Nabi dan sahabat, semua orang beriman wajib menjadi seorang salafy.

        Tapi suka atau tidak suka, dalam kontek hubungan emosional structural salafiyah terlanjur direpresentasikan kepada dua gerbong , yaitu ‘salafy rodja’ dan salafi ex LJ’ dengan masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memilih sebuah pendapat.

        Ditengah-tengah konflik dua kubu diatas, orang seperti saya –dan saya meyakini banyak yg semisal ini-, sangat menantikan seorang ‘ratu adil’ yang datang dari kalangan sendiri, mengerti secara psychology tentang apa yang terjadi dan mengajari ‘kami’ bagaimana bersikap dengan adil dengan tidak meninggalkan pakem yang ada dalam budaya dakwah salafiyah.

        ‘Ratu adil’ ini pernah coba diperankan oleh orang semacam Pak M. Warsito dengan bukunya DSDB. Tulisan beliau banyak dibaca oleh kalangan salafiyiin, tapi ‘la yusminu wala juu’. Malah dibeberapa point menciptakan masalah baru, yaitu terciptanyanya amunisi baru bagi kalangan diluar salafiyiin untuk menghantam salafiyiin.

        Sekali lagi tadz, lanjutkan saja…… dan insya Alloh ana tidak meninggalkannya. Tapi jika feeling ana terbukti, Blog ini tidak akan memberikan warna baru yang dibutuhkan bagi kami yang sedang berkonflik.

      2. Salafy bukanlah sebuah lembaga/instansi yang dimiliki secara eksklusif oleh sebagian orang. Semua orang dapat menjadi/mengaku sebagai seorang salafy. Bahkan dalam kontek Sunnah Nabi dan sahabat, semua orang beriman wajib menjadi seorang salafy.

        Tuh ngerti. Smiley

        Tapi suka atau tidak suka, dalam kontek hubungan emosional structural salafiyah terlanjur direpresentasikan kepada dua gerbong , yaitu ‘salafy rodja’ dan salafi ex LJ’ dengan masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dalam memilih sebuah pendapat.

        Ini cuma di Indonesia. Di luar sana ngga seperti itu. Beda lagi. Perlu Antum catat.
        Apa yang antum ketengahkan barusan hanyalah “ijma” jadi-jadian yang tak tertulis. Artinya, jangan karena si Fulan lebih dulu naik haji lalu muncul anggapan bahwa yang belum sempat/belum waktunya naik naik haji menjadi dianggap tidak naik haji. Ini hanya permisalan saja.
        Artinya, jangan karena Ust Jakfar dkk lebih dulu mempopulerkan istilah salafy di Indoenia lalu yang lain yang juga memiliki keyakinan yang sama yang baru pulang dari Madinah menjadi tidak dianggap salafi, hanya karena ia tidak mempopulerkannya.
        Atau jangan karena Syaikh Rabi koar2 tentang manhaj salaf di seluruh pelosok dunia maka ulama-ulama yang “pendiam” tentang manhaj menjadi dianggap tidak salafy atau tidak tahu tentang manhaj salafy.
        Mohon dipahami dengan benar.

        Ditengah-tengah konflik dua kubu diatas, orang seperti saya –dan saya meyakini banyak yg semisal ini-, sangat menantikan seorang ‘ratu adil’ yang datang dari kalangan sendiri, mengerti secara psychology tentang apa yang terjadi dan mengajari ‘kami’ bagaimana bersikap dengan adil dengan tidak meninggalkan pakem yang ada dalam budaya dakwah salafiyah.

        Ratu adil? kayak sejarah saja.
        Sejauh ini yang adil menurut saya, adalah berpihak pada kebenaran dengan ilmu sebagai corongnya bukan pada orangnya. Mungkin antum bisa baca kembali ucapan Syaikh Albani dalam tulisan ana yang telah lalu (bag 2)

        ولذلك نحن لا نريد أن نتعصَّب لأشخاص، ولا على أشخاص؛ يعني: لا نريد أن نتعصب لزيد ولا على زيد، لا نريد أن نتعصب (لأخونا) الربيع لأن الحق معه، ولا نريد أن نتعصب على سيد قطب لأن البطل والخطأ معه.
        نريد أن نكون بين ذلك، “سددوا وقاربوا”.

        Oleh karena itu, kami tidak menginginkan membela person-person tertentu secara membabi buta, tidak pula membenci person-person tertentu dengan membabi buta pula, yakni kami tidak ingin membabi buta membela Zaid ataupun membencinya dengan membabi buta pula, kami tidak ingin membela saudara kami Rabi secara membabi buta meski kebenaran bersamanya dan kami juga kami juga tidak ingin menghantam Sayyid Quthb secara membabi buta meski kebatilan dan kesalahan ada padanya. Yang kami inginkan hanyalah pertengahan di antara keduanya, yaitu membenarkan dan saling mendekatkan

        Ana juga pernah mengatakan pada salah satu pengunjung di sini.

        Nasihat saya semoga bisa menjadi faidah berharga yang bisa antum pegang erat-erat di tengah proses belajar seperti ini adalah Nasihat Ali bin Abu Thalib:

        الحق لايعرف بالرجال..
        وإنما يعرف الرجال بالحق..

        Kebenaran itu tidak dikenal dari orang-orangnya. Orang-orang itulah yang dikenal melalui kebenaran.

        artinya kalau antum belajar maka antum akan tahu siapa yang benar, kalau antum taklid maka antum akan buta dan tidak bisa melihat siapa orang yang membawa kebenaran.

        intinya jangan sibuk dengan person tertentu, sibuklah dengan dengan ucapan dan dakwah mereka terlebih dahulu. Bila terdapat kesalahan tinggalkan, bila terdapat kebenaran tidak ada salahnya bila diterima.
        Sebab kalau antum sudah sibuk dengan orang-orangnya maka yang antum hanya tahu adalah bahwa kebenaran itu hanya datang dari mulut mereka saja. dan segala macam kebenaran yang datang dari selain mereka akan antum tolak. Dan tentu saja ini sangat tidak benar dan menyimpang dari jalan sunnah.

        ‘Ratu adil’ ini pernah coba diperankan oleh orang semacam Pak M. Warsito dengan bukunya DSDB. Tulisan beliau banyak dibaca oleh kalangan salafiyiin, tapi ‘la yusminu wala juu’. Malah dibeberapa point menciptakan masalah baru, yaitu terciptanyanya amunisi baru bagi kalangan diluar salafiyiin untuk menghantam salafiyiin.

        Menurut saya, ngga ada dakwah, manhaj, person, ustadz yang sempurna. Kalau Antum mengharapkan dari mereka semua ini Antum bakalan kecewa. Terimalah kekurangan sebagai bagian dari dakwah dan hidup yang antum jalani, kalau ngga ya susah sendiri. Coba antum baca lagi ucapan Albani pada (bag 2):

        أن الحق -في طبيعة أمرِه- ثقيل على عامة الناس إلا من شاء الله -عزَّ وجلَّ-؛ {إنا سنُلقي عليكَ قولًا ثقيلًا}، فإذا ضُم إلى الدعوة وثِقلها على الناس -كما ذكرنا- القسوة والشدَّة؛ اجتمع قسوتان وشدَّتان، ويكون ذلك مدعاةً لتنفير الناس عن دعوة الحق، بينما المقصود من الدعوة استجلابهم إليها.

        kebenaran dalam karakternya yang sebenarnya adalah berat bagi kebanyakan orang umum, kecuali bagi mereka yang Allah kehendaki: “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (Al-Muzammil: 5)

        Maka jika digabungkan beban beratnya tadi dengan kekerasan (qaswah) demi kekerasan (syiddah) pada dakwah ini atas manusia pada umumnya sebagaimana yang kami sebutkan maka akan muncullah kekerasan yang serupa yang berganda (antara qaswah dan syiddah) dan itu akan menjadi sebab yang membuat manusia ketakutan dari dakwah yang haq ini di saat dakwah itu bertujuan untuk merangkul mereka kepadanya.

        Setiap dai tentu mengharapkan kesempurnaan dalam dakwah seperti Syaikh Rabi dan yang semisalnya, namun kenyataannya adalah…
        Tidak bisa seperti itu, apa yang kita bawa meskipun benar dan wajib diterima, namun bila masyarakat enggan lalu kita paksa, maka mereka akan lari dengan kebenaran kita…
        Artinya seperti yang saya katakan tadi, ini jelas adalah kekurangan. Tapi harus diterima kalo ngga diterima antum susah sendiri, lidah antum akan terus bergerak mencari mangsa tanpa bisa antum kendalikan. Lihat saja kerjaan para dai-dai salafiyun akhir2 ini, dan dewasa ini.

        Contoh terbaik dalam hal ini mungkin adalah Nabi dan Abu Thalib, siapa yang tidak ingin Abu Thalib masuk Islam, namun kenyataannya..?
        Namun alhamudlillahnya NAbi menerima kekurangan ini.
        Siapa yang tidak ingin umat berada di atas manhaj salaf yang haq, namun kenyataannya…?
        Namun apakah dai-dai salafiyyun bisa menerima hal ini?
        Semoga Antum bisa paham hal ini. Amin

        Sekali lagi tadz, lanjutkan saja…… dan insya Alloh ana tidak meninggalkannya. Tapi jika feeling ana terbukti, Blog ini tidak akan memberikan warna baru yang dibutuhkan bagi kami yang sedang berkonflik.

        Kalau Antum mencari sesuatu di blog ini atau warna baru maka ana katakan siap-siapa kecewa saja. Ngga ada hal baru di sini. Jangankan ana, ulama saja di Arab sana tetap tidak mampu memberi warna baru bagi salafiyyun yang ada di sini.
        Tetap saja semua kembali ke pribadi masing-masing. Sebab kalau yang antum cari itu ilmu, maka ilmu-ilmu tersebut telah dibukukan semua. Tinggal cari saja di sana. Apa yang terjadi di depan mata antum hanyalah geliat keilmuan yang berasal dari buku-buku tersebut dengan pemain2 baru yang menjadi aktor2nya.
        Intinya di sini ana mau bilang, jangan terlalu berharap pada manusia antum akan kecewa. Moga bisa dipahami.

        Maaf ya kalau ngga bisa memuaskan. Ana hanyalah hamba yang lemah.

  4. Ali: “ternyata hanya bagian dari kaum muslimin
    yang mencoba masuk dalam lingkaran salafiyah.”

    Tanggapan:
    Khawarij gaya baru ya? Hanya khawarij yang mau memisahkan diri dari kaum muslimin. Ane ga kaget lagi dengan penilaian negatif orang-orang di luar sana yang menganggap salafiyyun sebagai khawarij. Contohnya sudah banyak terlihat salah satunya adalah ente.

  5. Astaghfirulloh, berbaik sangkalah kpd saudara kalian. Sesungguhnya karena lisan Alloh Azza waJala memasukan seseorang ke aljannah atau ke annaar. Mohonlah kpd dzat yg mberi hidayah untk diri kita, orangtua kita, kerabat kita, saudara2 kita. Tdk akan tersesat orang yg Alloh Azza waJalla beri petunjuk. Dan barangsiapa yg Alloh Azza wa Jala sesatkn, maka siapakh yg dapat memberi petunjuk. Mohonlah kelembutan hati kpd Nya.

Comments are now closed.